Minggu, 11 Agustus 2013

Macan bermental hamster

Baru-baru ini kita kedatangan tamu-tamu terhormat dari belahan dunia yang sering kita sebut Benua Eropa. Tamu-tamu itu bernama Belanda, Arsenal, Chelsea, dan Liverpool. Sangat menyenangkan melihat pemain seperti Robin Van Persie, Theo Walcott, Steven Gerrard, dan Eden Hazard dapat menari-nari di tanah Indonesia, yang kata bule-bule eropa udaranya sangat panas. Rayuan-rayuan dari bule-bule yang melabelin dirinya sebagai talenta-talenta terbaik dunia ini pun berhasil menarik minat masyarakat Indonesia, yang konon katanya baik hati dan suka menabung, untuk memenuhi arena yang bernama Gelora Bung Karno.

Sekitar 80.000 orang menyaksikan pertandingan Indonesia vs Belanda yang dimenangkan Belanda dengan skor 0-3, sekitar 55.000 orang menyaksikan pertandingan Indonesia vs Arsenal yang dimenangkan Arsenal dengan skor 0-7, sekitar 85.000 orang menyaksikan pertandingan Indonesia vs Liverpool yang dimenangkan Liverpool dengan skor 0-2, dan sekitar 80.000 orang yang menyaksikan pertandingan Indonesia vs Chelsea yang dimenangkan Chelsea dengan skor 1-8



Dari keempat pertandingan tersebut ada beberapa kesimpulan cerdas yang dapat diambil. Pertama, orang Indonesia itu gila bola. Dari keempat partai tersebut, rata-rata disaksikan oleh 75.000 orang. Kedua, kita tidak pernah menang pada partai tersebut. Ketiga, dari keempat partai tersebut, kita hanya berhasil menjaringkan satu gol itupun melalui gol bunuh diri. Saya rasa gol itu juga merupakan ucapan terima kasih Tomas Kalas untuk para fans Indonesia yang telah menyambut Chelsea dengan baik layaknya superstar.

Saya akan coba untuk mengupas point-point tersebut setajam silet. Saya tidak akan memfokuskan point pertama karena jumlah penonton dengan hamster tidak ada hubungannya kecuali yang nonton bola pada saat itu merupakan hamster (no offence bro, just kidding). Saya akan fokus pada point kedua dan ketiga. Mohon siapkan popcorn di tangan anda karena pembahasan ini memerlukan konsentrasi yang full. Sadarkah saudara-saudara dibalik keceriaan anda ketika Belanda, Arsenal, Liverpool, dan Chelsea menang dengan skor yang telak, semakin nampak lah kualitas mental timnas yang sesungguhnya. Apakah anda juga ikutan menertawakan Indonesia setelah salah satu media Inggris, The Mirror, menyebutkan, "Nyamuk lebih menyulitkan Chelsea ketimbang Indonesia."


Arsene Wenger pernah mengkritik Timnas Indonesia dengan menyebutkan bahwa pemain selevel Andik Vermansyah, yang konon dijuluki Messi dari Indonesia oleh media-media galau tanah air, bertebaran di akademi Arsenal. Jose Mourinho pun pernah menyebut timnas  tidak mempunyai potensi pemain yang spesial. Tapi Jose Mourinho pun berbaik hati memberi nasihat yang intinya kalo pemain anda tidak cukup baik bermain sepak bola seharusnya pemain anda bermain dengan nasionalisme yang tinggi ketika bermain. Saya setuju dengan perkataan Jose, saya melihat pemain kita bermain bukan untuk Garuda di Dada, tetapi bermain seadanya dengan harapan bisa mendapatkan tanda tangan dan kostum pemain idola mereka. Hal yang paling menyedihkan ketika melihat bahwa ada beberapa pemain yang mengincar kostum dan tanda tangan pemain idola mereka bahkan sebelum bermain. 


Melihat hal tersebut, ada sedikit lamunan gila yang mengusik pikiran kotor saya ini. Bagaimana kalau pada saat dijajah oleh Belanda, Ir Soekarno dan Moh, Hatta berebut untuk meminta tanda tangan kepada penjajah belanda karena kagum akan kegantengan dan kecantikan meneer-meneer Belanda pada saat itu. Apabila terjadi hal tersebut, pastinya kita tidak akan merdeka sekarang ini dan mungkin saja Johny Heitinga, Van Wolfwinkel, dan Wesley Sneijder akan menjadi menguasai industri boy band di Indonesia. 



Saya yakin Soekarno, Hatta, dan juga Ir Soeratin akan menangis melihat kondisi persepakbolaan kita. Saya kemarin menonton Malaysia vs Barcelona. Saya sangat kagum melihat bagaimana para pemain Malaysia tidak gentar walaupun lawan yang dihadapinya adalah alien catalan. Terlihat jelas bagaimana para Pemain Malaysia bertanding dengan nasionalisme yang tinggi sampai ada moment dimana salah seorang pemain Malaysia terlihat tidak canggung beradu argumen dengan Cesc Fabregas. Saya yakin pemain Malaysia tersebut bukan melihat Cesc Fabregas sebagai pemain yang pernah memenangkan Piala Eropa dan Piala Dunia, tetapi saya yakin pemain Malaysia tersebut melihat Cesc Fabregas sebagai musuh yang harus dihadapi dan harus dikalahkan. Hal tersebut yang tidak dipunyai pemain timnas. Pemain-pemain yang tampil beringas seperti macan di kompetisi lokal, yang berani menerkam pemain lawan bahkan tanpa segan-segan menerkam wasit, berubah menjadi hamster yang lucu ketika berlaga melawan tim yang secara level permainan berada diatas. Masih ingatkah saudara ketika Thailand berhasil mempecundangi Manchester United dengan skor 1-0 dan China dengan skor 5-1?. Muncul pertanyaan di benak saya, kenapa sih timnas tidak bisa seperti mereka?.

Dari keempat pertandingan tersebut kita selalu kalah dan timnas hanya berhasil menjaringkan satu gol hadiah. Saya dapat menyimpulkan bahwa barisan gelandang dan striker tidak punya mental yang baik untuk berani berhadapan dengan pemain dunia. Mental tampil seadanya selalu terbentuk di sepak bola negara ini karena tanpa sadar para pemain dan pengurus sepak bola negara ini menomorduakan sepak bola itu sendiri. Sepak bola hanya dijadikan alat untuk memperkaya kantong sendiri. Pemain dan pengurus seperti tidak mempunyai motivasi yang lebih untuk berkembang. Kita bisa melihat bahwa pemain muda potensial kita terlalu nyaman bermain di kompetisi lokal dengan bujukan kesejahteraan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh pengurus klub lokal. Saya salut melihat pemain seperti Irfan Bachdim dan Arthur Irawan yang rela meninggalkan comfort zone di liga lokal demi meningkatkan skill dan pengalamannya bermain di liga internasional yang lebih kompetitif dibanding liga lokal.

Ketika uang menjadi prioritas, nasionalisme pun juga mulai terpinggirkan. Pemain lebih memilih loyal kepada klub daripada negara. Saya tidak dapat menyalahkan pemain karena ini sepenuhnya bukan salah mereka. Dalam ilmu manajemen, kualitas bawahan berbanding lurus dengan bagaimana atasan memperlakukan karyawan ini. Apabila atasan berlaku baik dan bijak semakin baiklah kinerja bawahan tersebut demikian juga sebaliknya. Masih teringat bagaimana ketika Boaz Solossa mengalami patah kaki melawan Hongkong, tetapi dia tidak mendapat perhatian yang khusus dari atasannya/pimpinannya yang bernama PS*I dengan kata lain PS*I tidak mau bertanggung jawab. Seorang mutiara seperti Boaz dibiarkan menjadi pesakitan sampai dia mengambil inisiatif sendiri untuk mengobatin cederanya. Saya terbayang apabila saya menjadi pemain timnas, saya berjuang sampai titik darah penghabisan untuk membela merah putih, tetapi sialnya ketika saya cedera saya ditelantarkan dan diacuhkan oleh negara yang saya bela. Kalo saya pribadi, saya jelas ogah membela negara lagi. Kalopun saya bergabung, saya ogah mengerahkan tenaga saya. 

Ketika kompetisi bergulir, banyak klub yang sulit membayar gaji pemain. Saya ingat dengan jelas bagaimana beberapa pemain PSMS Medan berunjuk rasa di depan kantor PS*I agar PS*I mau membantu mereka dalam pelunasan HAK mereka. Apa yang didapat mereka?, PS*I mengeluarkan sanksi kepada mereka karena dianggap telah melakukan tindakan memalukan. Saya merasa menjadi orang paling bodoh sedunia ketika mendengar pernyataan PS*I tersebut. Gimana ceritanya ada pegawai yang menuntut hak mereka dibayarkan kepada direksi perusahaan setelah sekian lama kewajiban yang mereka lakukan tidak dibayar dan malah akhirnya direksi perusahaan menghukum mereka. Bagaimana perasaan pemain ini ketika mereka tidak dibela oleh otoritas yang seharusnya membela mereka. Kesimpulannya seperti ini, negara aja gak berlaku adil kepada kami, ngapain kami berlaku adil juga buat negara.

Sepakbola Indonesia pernah dijulukin sebagai macan asia pada zamannya. Timnas berhasil menahan tim dunia seperti Uni Soviet, tetapi perlahan macan itu berubah jadi hamster. Secara hukum alam, macan akan menjadi buas ketika tinggal di hutan yang penuh dengan macan buas karena hewan termasuk manusia akan menjadi sama dengan lingkungan yang didiaminya. Dewasa ini macan itu pun berubah menjadi hamster karena terlalu lama tinggal menetap di lingkungan yang penuh dengan hamster penurut yang mengangguk-ngangguk karena uang dan kekuasaan. Saya sebagai pencinta sepakbola sangat menunggu adanya sosok bersih yang mampu merubah tirani dunia hamster ini. Terlalu banyak hamster akan mengganggu pertumbuhan macan yang hendak menjadi dewasa. Sekuat apapun macan pada masa kecilnya akan tetap berubah menjadi hamster di masa dewasanya apabila dia dirawat oleh kawanan hamster. Saya kagum melihat bagaimana Pak Gita Wirjawan yang berhasil mengubah dunia bulutangkis Indonesia sebagai macan asia kembali setelah sebelumnya tertidur pulas, Kenapa sih Bapak Gita Wirjawan begitu hebat?. Jawabannya bukan kepada kehebatan Bapak Gita Wirjawan, tetapi karena Beliau mempunyai hati untuk memajukan dunia bulutangkis Indonesia. Saya dan mungkin jutaan penggila bola tanah air menunggu pemimpin yang mempunyai hati untuk mengubah sepak bola bangsa ini.  


Walaupun timnas kami masih menjadi hamster, kami tetap setia untuk memenuhi Stadion untuk mendukung hamster kesayangan kami dengan harapan suatu saat hamster itu akan berubah menjadi macan kembali dan dapat menjadi kebanggaan kami kembali.  
Saya dan masyarakat Indonesia menantikan datangnya seorang pemimpin yang mempunyai hati nurani untuk memimpin persepakbolaan nasional. Sampai saat itu tiba kami akan tetap berharap demi tumbuhnya hamster-hamster kecil kami menjadi macan yang buas kembali. Jayalah negeriku, Kita ini Macan Asia Bung target kita bukan hanya sekedar juara Piala AFF atau Sea Games belaka, sudah saatnya kita menjuarai piala dunia karena kita adalah bangsa yang TERHORMAT !!!!!






Selasa, 06 Agustus 2013

My LFC Projection


Masa Keemasan Liverpool FC
Sudah lama saya tidak melihat Liverpool bermain di kompetisi elit eropa atau yang biasa kita sebut Liga Champions. Sempat teringat di benak saya bagaimana Liverpool menjadi tim yang sangat disegani di eropa ketika masih dilatih oleh Rafa Benitez. Dengan mata kepala sendiri, saya melihat bagaimana Liverpool dengan perkasanya membantai klub-klub hebat eropa seperti Inter Milan, Barcelona, Chelsea, AC Milan, dsb. Begitu menyenangkannya dapat kembali ke masa dimana klub bisa meraih Liga Champions yang kelima di Istanbul dan pada beberapa tahun berikutnya dapat melaju ke final lagi. Pada musim 2008-2009, kita juga dikejutkan oleh sosok yang bernama Fernando "El Nino" Torres yang berhasil membawa Liverpool hampir merebut gelar liga inggris sebelum penyakit yang bernama inkonsistensi membuat posisi Liverpool berhasil disalip sang rival, Manchester United.
 
Musim selanjutnya kesalahan fatal seorang Rafa yang lebih memilih mendatangkan Gareth Barry dan kondisi finansial klub yang kurang sehat membuat performa klub merosot tajam.  Pada musim 2009-2010 klub pun hanya bertengger di peringkat ketujuh yang merupakan prestasi terburuk klub pada 10 musim terakhir. Pada tahun tersebut manajemen klub dibawah pimpinan Tom Hicks dan George Gillett pun kehilangan kesabaran dengan memecat Rafa. Manajemen pun segera menunjuk Roy Hodgson untuk mengganti Rafa Benitez. Dengan pengalaman menangani beberapa klub besar eropa seperti Inter Milan, fans pun awalnya sangat berharap Oppa Roy dapat mengembalikan kejayaan Liverpool. Sayangnya antusiasme Kopites pun dibalas dengan kekecewaan, permainan klub semakin menurun. Dari kacamata saya, Oppa Roy tidak layak disalahkan. Saya lebih menyoroti kinerja manajemen dibawah pimpinan Hicks dan Gillet yang tidak bisa mengelola keuangan klub dengan baik sehingga Oppa Roy tidak punya dana transfer yang memadai.

Saya masih ingat pada awal musim 2010-2011 kita hanya membeli pemain kacangan seperti Joe Cole, Milan Jovanovic, Paul Konchesky, Danny Wilson, Brad Jones, dan Christian Poulsen. Joe Cole dan Poulsen pada masa jayanya memang merupakan pemain dengan skill di atas rata-rata, tapi pada saat kita mendatangkan mereka, pemain ini sudah mulai kehilangan sentuhan magisnya dan bahkan sudah mulai dipinggirkan oleh klub terdahulu. Pemain-pemain ini tidak bisa menutupi kepergian pemain-pemain senior seperti Mascherano, Aquilani, Riera, dan Benayoun yang pergi di waktu yang bersamaan.

Pada putaran kedua oppa Roy pun dilengserkan dan diganti oleh King Kenny Dalglish. King Kenny berhasil membawa angin perubahan di klub Liverpool dengan merestorasi tim dengan memasukkan pemain akademi kedalam skuad seperti Flanagan, Kelly, Jack Robinson, dan Jay Spearing. Pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir saya melihat gerombolan pemain lokal Liverpool yang berhasil masuk skuad inti. Saya pun mulai kagum melihat sosok seperti King Kenny yang memberi kepercayaan lebih kepada talenta lokal. Angin perubahan pun semakin berhembus ke Anfield ketika kita berhasil mendatangkan Luis Suarez dan Andy Carroll untuk menggantikan Torres yang pergi ke Chelsea.

Pada musim 2011-2012, ketidakberuntungan pun kembali mendatangi Anfield. King Kenny membuat suatu keputusan yang saya anggap buruk ketika mendatangkan Stewart Downing dengan harga 20 juta pound dan Jordan Henderson dengan harga 15 juta pounds. Total sebesar 50 juta pounds dikucurkan untuk membeli Henderson, Doni, Enrique, Charlie Adam, dan Downing. Pada saat itu Liverpool menduduki peringkat ketiga klub dengan jumlah pembelian pemain terbesar dibawah Man City dan Chelsea dan perlu diingat klub pada saat itu sedang dalam kondisi keuangan yang tidak stabil pasca pergantian kepemilikan kepada John W Henry.

50 juta pounds + juara piala carling pun tidak dapat menyelamatkan karier kepelatihan King Kenny setelah hanya menduduki peringkat ke-8 liga inggris. Sangat tragis melihat klub sebesar Liverpool tertatih di papan tengah. Brendan Rodgers pun kemudian didatangkan untuk menggantikan King Kenny. Brendan Rodgers didatangkan setelah performa apiknya menukangi Swansea City. Rodgers mengalahkan saingan terdekatnya Roberto Martinez yang pada saat itu juga difavoritkan melatih Liverpool.

Pada awal musim, saya sempat merasa optimis dengan gaya permainan tiki-taka yang didengungkan Brendan Rodgers pada saat pre-season. Dengan beberapa pemain yang didatangkan seperti Sahin, Allen, Yesil, Assaidi, dan Borini semakin membuat saya optimis khususnya pada kualitas Sahin, Allen, dan Borini. Sampai akhirnya pada pekan pertama saya sangat terkejut ketika Liverpool dibantai oleh WBA 3-0. Pada saat itu Brendan Rodgers memakai formasi 4-3-3 dengan reina sebagai kiper, Agger, Skrtel, Kelly, dan Johnson sebagai bek, Lucas, Gerrard, dan Allen sebagai pembagi bola di tengah, Borini, Downing, dan Suarez sebagai pendobrak di lini depan.

Dari pertandingan tersebut saya melihat kecanggungan pemain Liverpool bermain tiki-taka. Bola hanya berputar tengah dan terkesan monoton dan tidak efektif. Beberapa pemain juga sering melakukan salah passing. Gol dari Zoltan Gera, Peter Odemwingie, dan Romelu Lukaku serta kartu merah dari Daniel Agger semakin membenamkan kita di The Hawthorns pada saat itu. Berikut saya lampirkan statistik pertandingan WBA vs Liverpool

Dari statistik diatas, dapat kita lihat Liverpool sangat dominan pada ball possesion sebanyak 57 % dibanding WBA yang mendapat 43 %. Ball possesion ini berbanding terbalik dengan keefektifan serangan. Kita hanya mendapat tujuh peluang shoots on goal sementara WBA mendapat 10 shoots in goal. Kita juga hanya mendapat tiga corner kick sementara WBA mendapat tujuh corner kick. Permasalahan yang saya lihat di tim ini pada pekan pertama adalah ketidakefektifan serangan karena dua faktor. Pertama, Gerrard tidak bisa memainkan peran sebagai playmaker dengan baik dan Borini beserta Downing tidak mempunyai skill yang mumpuni sebagai penyerang sayap aktif dalam formasi 4-3-3. 

Situasi semakin memburuk setelah sampai lima pekan pertama kita belum pernah meraih kemenangan bahkan kita harus mengalami tiga kekalahan melawan WBA, Arsenal, dan Manchester United. Pasca keterpurukan tersebut, secercah harapan mulai muncul pada pundak Raheem Sterling setelah penampilan gemilangnya pada saat melawan Arsenal dan Man City. Saya juga terkagum melihat permainan anak muda yang bernama Suso setelah penampilan impresifnya melawan Man United.

Sepanjang paruh pertama Liga Inggris, Liverpool menduduki peringkat kesembilan. Tim terlihat sangat bergantung kepada produktivitas gol Luis Suarez yang sepanjang paruh pertama telah mencetak 13 gol. Bila dibandingkan dengan total gol yang dilesakkan Liverpool pada paruh pertama yaitu 31 gol berarti hampir separuh total gol Liverpool dihasilkan oleh Luis Suarez. Penyakit pada pekan pertama pun menjalar sampai akhir putaran pertama. Dari lini belakang bola dapat dialirkan dengan baik sampai ke lini tengah, tapi anehnya bola itu seakan berhenti di tengah tanpa bisa dikreasikan menjadi peluang mencetak gol oleh pemain depan. Ketiga gelandang terlihat bermain terlalu statis dan sejajar. Sangat terlihat bagaimana Luis Suarez harus mengkreasikan peluang untuk dirinya sendiri. Sepanjang paruh pertama saya kurang melihat adanya dukungan dari Sterling, Borini, Downing, maupun Enrique yang sempat dicoba menjadi pernyerang sayap. Permainan anak-anak Merseyside sangat monoton bahkan secara jujur saya sedikit muak ketika menonton Livepool pada saat itu, tapi saya tetep menonton hanya karena saya ingin melihat bagaimana keajaiban skill Luis Suarez. Bahkan saya sempat berharap Brendan Rodgers lengser dari posisinya dan digantikan Rafa kembali atau Louis Van Gaal yang pada saat itu dikaitkan dengan Liverpool.

Paruh kedua keajaiban terjadi setelah masuknya Coutinho dengan Sturridge yang direkrut dari Inter Milan dan Chelsea. Mereka memberi dimensi baru dalam permainan tiki taka Liverpool yang belum terlihat sebelumnya. Coutinho bergerak di sayap, menggocek beberapa pemain belakang dengan gaya sambanya, dan sering menusuk ke dalam pertahanan lawan. Dia juga mempunyai akurasi umpan yang benar-benar sempurna menurut saya. Dia bisa melihat kemana pemain depan akan berlari dan sejujurnya hanya Coutinho dan Gerrard yang punya kemampuan ini. Sangat world class !!!!!. Daniel Sturridge memberi dimensi yang baru di depan dengan kecepatan dan ketajaman yang dimilikinya. Dia sering meminta bola ke belakang dan tidak selfish layaknya striker lain. Kehadiran Sturridge pun dapat mengurangi ketergantungan tim kepada Suarez. Saya merasa Rodgers menemukan kunci yang sangat penting di formasi 4-3-3 nya pada diri Sturridge dan Coutinho. Kita butuh adanya kedua sayap yang menusuk bukan melebar. Sayap yang menusuk dapat meningkatkan keefektifan serangan karena dapat membantu target man dalam membuka ruang dan mencetak gol. Sturridge berhasil mencetak 10 gol di paruh kedua EPL dan jumlah itu merupakan jumlah yang fantastis untuk pemain yang baru bergabung di putaran kedua sementara Coutinho berhasil mencetak 3 gol di EPL, jumlah yang sama dengan total gol downing di EPL dan lebih banyak dari Sterling padahal Cou baru masuk pada putaran kedua.

Musim 2013-2014 akan bergulir sebentar lagi. Saya begitu banyak melihat berita transfer yang menyangkut Liverpool FC akhir-akhir ini. Beberapa pemain diisukan datang ke klub yang bermarkas di Anfield ini. Mulai dari Henrikh Mkhtryan, David Villa, Christian Tello, Papadopoulos, Christian Eriksen, Tiago Illory, Loic Remy, Gerard Deulofeu, Alvaro Morata, Roberto Soldado, Cisokho, sampai kepada isu pemulangan kembali Xabi Alonso ke Anfield. Setiap hari daftar pemain ini yang mengisi headline di media lokal maupun internasional.

Saya begitu senang melihat kebijakan transfer manajemen klub. Sejauh ini mereka melakukan langkah cerdas dengan merekrut Aspas, Alberto, Toure, dan Mignolet dengan dana 22.8 juta pounds sementara klub berhasil mendapat dana sebesar 20 juta pounds dari aktivitas menjual pemain berarti kita hanya mengeluarkan dana sebesar 2.8 juta untuk transfer pemain. Mignolet merupakan kiper potensial dengan usia yang baru menginjak 25 tahun yang merupakan usia emas dalam sepakbola, dia berhasil membuat gawang Sunderland aman pada musim lalu. Hal yang sangat cerdas melihat Mignolet datang dan menggantikan posisi Reina melihat inkonsistensi permainan yang diperlihatkan Reina akhir-akhir ini. Dengan gaji yang lebih kecil, umur yang lebih muda, dan skill yang hampir sama bahkan saya yakin dapat melebihi Reina, uang 9 juta pounds merupakan jumlah yang pantas. Kolo Toure bek dengan mental juara, Liverpool sangat beruntung mendapatkannya dengan gratis. Aspas dan Alberto, dua pemain Spanyol yang mempunyai naluri mencetak gol yang sangat baik, saya rasa memberikan dimensi permainan yang sangat mendukung pola permainan tiki-taka Brendan Rodgers.


Pertanyaan selanjutnya dari sekian banyak pemain yang digosipkan untuk mengenakan kostum merah siapa lagi yang meruapakan pembelian cerdas Rodgers?. Saya melihat hal yang harus dibenahi adalah bek tengah. Dengan usia yang sudah menginjak kepala tiga, sangat riskan rasanya mempercayakan posisi inti kepada Kolo Toure. Ideal rasanya, Kolo Toure dijadikan pelapis buat Daniel Agger karena Kolo Toure mempunyai pengalaman kontinental yang tidak dipunyai para bek Liverpool. Saya melihat bahwa kedatangan Toure ini dapat menambahkan kemewahan di dalam skuad Liverpool yang menurut saya sebelumnya hanya dipunyai Suarez dan Gerrard. Skrtel?. Saya rasa dia belum cukup baik melihat blunder yang sering dia lakukan. Saya sangat ingin melihat Alderweireld menjadi pembelian Selanjutnya. Dia punya mental juara seperti seniornya di Ajax dulu, Jan Vertonghen. Kita juga punya permasalahan pada bek kiri. Kita tidak punya pelapis yang sepadan buat Jose Enrique, saya awalnya sempat berharap Jack Robinson diberi kepercayaan lebih, tetapi Brendan Rodgers mempunyai keyakinan lain dengan meminjamkannya ke Wolves. Aly Cisokho yang selama ini diisukan saya rasa terlalu mewah untuk dijadikan pelapis. Saya cenderung memilih Glen Johnson sebagai pelapis bek kiri sehingga kita tidak perlu beli bek kiri tambahan sambil menunggu matangnya Jack Robinson. Wisdom pemain yang versatille kita bisa coba untuk memainkannya sebagai bek tengah di ajang piala FA atau Carling. Saya juga sangat berharap Martin Kelly dapat lebih dipercaya untuk bermain di posisi bek kanan. Bagaimana dengan Coates dan Skrtel? saya rasa kedua pemain ini lebih baik dijual. Coates, bek potensial, tapi gaya mainnya sangat tidak cocok di EPL, Dia tidak punya kecepatan dan kemampuan passing yang bagus. Saya jadi ingat Gabriel Paletta yang dibeli Rafa yang mempunyai gaya main seperti Coates. Saya rasa klub bisa mendapat 15 juta pounds dari penjualan kedua pemain (Skrtel + Coates) tersebut.

Untuk pemain tengah, saya sangat kecewa ketika Jonjo Shelvey dijual ke Swansea. Dia adalah pemain tengah yang sangat bertalenta, Punya passing hebat, naluri mencetak gol, dan kecepatan diatas rata-rata. Sayangnya mentalnya belum terlalu bagus untuk bermain di EPL. Setelah melihat beberapa pertandingan pre-season kemarin, saya melihat ada satu dimensi yang Liverpool belum miliki. Dimensi ini sangat penting untuk bisa meraih mimpi untuk main di UCL musim depan. Liverpool tidak mempunyai playmaker !!!!!!. Kita tidak punya pemain sekelas Hazard, Mata, Silva, dan Cazorla. Di dalam formasi 4-3-3 playmaker sangat dibutuhkan. Kita dapat melihat bagaimana Iniesta menjadi roh permainan Barcelona dan pemain penentu ketika Messi, Villa, dan Pedro dimatikan. Kita sering memainkan Jordan Henderson di posisi tersebut. Dia punya stamina yang luar biasa, dan kecepatan yang baik. Tapi dia belum dapat menjadi penyuplai bola yang baik dan tidak punya naluri mencetak gol yang baik. Saya rasa ada missing link ketika bola dari Gerrard dicoba dioper ke depan. Bola dari Gerrard terlalu cepat mencapai Luis Suarez, Sturridge ataupun Coutinho, Bek lawan jadi mudah mematahkan serangan tersebut dan serangan terlalu mudah dibaca. Ketika Suarez, Coutinho, dan Downing dimatikan, kita tidak punya playmaker yang mampu mencetak gol. Musim lalu Henderson hanya mencetak 5 gol dan 4 assist dan masih kalah dibanding Gerrard yang mencetak 9 gol dan 9 assist. Hendo juga belum mempunyai konsistensi permainan. Ketika melawan Arsenal dia sangat luar biasa, tapi penampilannya kurang begitu menonjol pada pekan berikutnya. Saya rasa kita butuh pemain yang mampu memainkan bola terlebih dahulu sebelum mengeluarkan operan ajaib ke depan dan sesekali merangsek ke depan untuk mencetak gol persis seperti yang Iniesta, Silva, maupun Mata lakukan. Henderson saya rasa masih terlalu hijau buat melakukan hal tersebut. 

Saya rasa missing link itu terletak pada diri Christian Eriksen. Pemain internasional Denmark yang bermain untuk Ajax Amsterdam. Dengan usia yang masih sangat muda 22 tahun, dia sudah merasakan bermain di Piala Dunia, Liga Champions, Liga Eropa, dan memenangi gelar juara Liga Belanda. Musim lalu dia mencetak 13 gol dan 24 assist di semua kompetisi yang diikutinnya dan jumlah ini jauh diatas statistik Gerrard dan Henderson. Kemampuan tendangan bebasnya juga menjadi nilai tambah bagi Eriksen. Dia juga bisa dijadikan alternatif untuk menjadi penyerang sayap. Saya rasa perpaduan Eriksen dan Coutinho akan menjadi perpaduan mengerikan dan dapat menyaingi bahkan melebihi perpaduan Hazard dan Mata. Saya kuatir improvisasi Coutinho akan mulai terbaca oleh lawan apabila dia tidak mendapat tandem yang tepat di tengah. Coutinho tidak maksimal ditempatkan sebagai playmaker murni. Rodgers sudah menyadari ini ketika melawan Tottenham Hotspurs. Badan Coutinho yang kecil dapat dengan mudah dimatikan oleh gelandang bertahan liga inggris yang terkenal memiliki fisik yang prima oleh karena itu Cou ditempatkan di sayap kiri. Dampaknya lini tengah Liverpool kekurangan kreativitas, Henderson terlalu bermain sejajar dengan Gerrard dan asupan operan menjadi hanya berpusat di coutinho. Bola dari Gerrard selalu dioper ke kedua belah sayap tanpa adanya permainan menusuk dari gelandang. Coba anda lihat ketika melawan klub besar seperti Chelsea, United, City, dan Spurs. Kita tidak dapat melihat pergerakan maksimal dari Coutinho karena permainannya dikunci. Permainan monoton bola hanya bergerak dari Lucas kepada Gerrard atau Hendo dan kemudian bola direbut kembali. Saya rasa akan sangat hebat apabila kita punya Eriksen. Bagaimana Eriksen dapat menusuk ke depan dan membuka ruang untuk ketiga striker. Saya sangat yakin pembelian besar yang dimaksud Rodgers ada di dalam diri Eriksen.


Untuk posisi lini depan saya merasa kita memiliki skuad yang solid dengan adanya Sterling, Ibe, Aspas, Luis Alberto, Coutinho, Sturridge, dan Suarez, Untuk Suarez, saya sangat berharap dia masih ada di tim musim depan. Untuk bisa bertahan di 4 besar, pemain dengan mental juara seperti Luis Suarez sangat dibutuhkan. Kalopun akhirnya Suarez dijual, saya berharap manajemen dapat menjualnya di harga yang pantas Saya rasa 55 juta pounds merupakan harga yang tepat. Untuk penggantinya sendiri Diego Costa merupakan pilihan terbaik, pemain latin dengan mental pemenang dan kemampuan mencetak gol yang baik. Saya tertarik melihat persaingan antara pemain muda potensial seperti Sterling, Ibe, dan Luis Alberto untuk merebut posisi inti di tim. Saya yakin ketiga pemain ini akan menjadi The Next Liverpool Legend dengan skill yang mereka miliki. Bagaimana dengan Asaidi, Downing, dan Borini?. Sejujurnya, saya tidak melihat adanya masa depan buat Assaidi dan Downing di tim karena saya melihat Rodgers akan memainkan gaya permainan yang sedikit berbeda dengan permainan sayap yang menusuk bukan melebar yang notabene tidak sesuai dengan gaya permainan Assaidi dan Downing. Saya rasa keputusan untuk melego Downing + Assaidi ke klub lain merupakan pilihan yang bijak. Bagaimana dengan Fabio Borini?. Saya rasa akan sangat bijak untuk meminjamkan Borini ke klub EPL lain yang mampu memberikan jaminan bagi dia untuk bermain sebagai pemain inti dengan opsi pemanggilan kembali. Sangat disayangkan talenta mewah Borini menjadi sia-sia akibat berada di bawah bayang2 Suarez, Coutinho, Sturridge, dan Aspas. Berikut akan saya lampirkan formasi impian Liverpool menurut saya pribadi dan semoga om Brendan Rodgers dapat melihatnya :)



                                                                        Mignolet
                                                                         (Jones)
                                                                
   G. Johnson                           Alderweireld                          Agger                      Enrique    
   (M. Kelly)                              (Wisdom)                            (Toure)                  (G. Johnson)



                                                                        Lucas
                                                                      (Spearing)

                                                                      S. Gerrard
                                                                       (J. Allen)

                                                                     C. Eriksen
                                                                     (Henderson)


                       Aspas                                     L. Suarez                              P. Coutinho
                      (D. Sturridge)                         (L. Alberto)                            (Ibe/Sterling)